Senin, 10 Agustus 2015

GANTENG DAN KEKAR LEBIH MENARIK NAMUN TERAMPIL DAN KREATIF LEBIH MENJAMIN


Tidak ada seorang wanita pun didunia ini yang bercita-cita menjadi Janda. Demikian pula bahwa tidak ada seorangpun didunia ini yang berkeinginan untuk hidup sengsara. Tentu masing-masing orang memiliki cita-cita untuk hidup bahagia, senang dan sejahtera dalam artian berkecukupan. Sehingga kita semua sepakat bahwa tujuan kita Sekolah, Kuliah dan belajar adalah untuk meraih sukses (kehidupan yang Makmur dan Sejahtera).
Lelaki memiliki Tanggungjawab untuk itu, yaitu membangun pondasi kesejahteraan saat berumah tangga. Untuk membangun pondasi tersebut, tidak langsung demikian adanya, Menikah baru belajar dan mencari tahu cara bekerja. Untuk bekerja butuh latihan dan butuh tempaan ‘jatuh bangun’. Seperti halnya kita sekolah, butuh latihan-latihan serta ujian agar kita naik kelas, agar kita bisa lulus sekolah. Untuk beri-ibadah yang khusu’, puasa yang benar dan naik haji juga butuh latihan-latihan serta belajar tata cara, estetika maupun etika. Bila tidak, kita tidak akan mampu mengerjakan apa yang sudah disepakati, beribadah yang khusu’, Puasa yang terjaga maupun haji yang mambrur.
Ibarat kata, Tidak boleh terbalik antara ‘Tulang punggung’ dan ‘Tulang rusuk’. Meskipun atas nama toleransi dan solidaritas, Perempuan bisa menjadi ‘Tulang Punggung’ dengan catatan Lelaki harus bertanggungjawab atas segala konsekwensi rutinitas yang dijalankan. Meskipun tuntutan pada umumnya Lelaki secara Qodrati adalah ‘Tulang Punggung’ dan Wanita adalah ‘Tulang Rusuk’. Sehingga untuk itu, agar tidak terbalik dan memposisikan diri sebagai Khalifah (Pemimpin) ditengah keluarga, maka, sudah selayaknya seorang lelaki melatih diri lebih awal, lebih dini, mulai saat ini untuk menjadi ‘Tulang punggung’ tersebut seiring kompetisi yang berlangsung.
Untuk Bekerja, tentu kita harus melatih diri agar siap bekerja. kata ‘siap’ disini, tidak saja secara fisikly, namun Kemampuan (Intelektual/Kompetensi), mental dan jiwa pun harus disiapkan. Dunia kerja atau Pasar kerja tidak mengenal Strata Sosial, tidak mengenal Culture Sosial dan tidak mengenal Struktur sosial. Pasar kerja hanya tahu nya, anda BISA apa dan dapat BERBUAT apa agar menghasilkan Apa. Dunia kerja bukan dunia gengsi, Dunia kerja adalah dunia Kompetisi, dunia kerja adalah Dunia Selektif. Tidak memiliki Skill, Kompetensi, Spesialisasi dan intelegensia, maka anda akan menjadi ‘Sampah sosial’.
‘Sampah Sosial’ dalam pengertian penulis adalah seseorang yang hanya bisa menghabiskan tanpa bisa menghasilkan. Seseorang yang hanya bisa menjadi Follower tanpa berusaha memiliki Power untuk menjadi Leader atau seseorang yang hanya bisa latah tanpa mau berlatih. Seseorang yang hidup dari segala hal yang Instan dengan gaya yang resisten, akibatnya hanya mampu duduk menonton dan menunggu belas kasihan orang lain. Manusia yang seperti ini yang sering menyalahkan Takdir (Tuhan) dan kerap ‘mengkambing hitamkan’ Pemerintah, padahal Nasib dan Perjuangan ada pada tanganya sendiri. Rejeki tidak datang pada manusia yang duduk berpangku tangan lalu bercerita panjang lebar tentang Sinetron yang sama-sama ditonton.
Banyak alibi (Pembelaan Diri) yang disuguhkan, bahwa kondisi miskin yang dihadapi adalah kenyataan karena dilahirkan dari keluarga yang miskin. Orang lain kaya dan memiliki posisi dalam jabatan itu karena memang dilahirkan dari keluarga yang memiliki harta serta kedudukan. Antitesanya adalah, kenapa banyak keluarga miskin mampu menjadi orang kaya dan memiliki pekerjaan hebat? Kenapa tidak sedikit yang dilahirkan dari keluarga kaya dan terhormat kemudian hidup miskin dan tak memiliki tujuan hidup? Semua itu kembali pada Kesiapan kita dalam menghadapi masa depan. “Hidupmu adalah milikmu, dirimu lah yang menentukan baik buruknya kehidupan masa depanmu, dan dirimu jua yang akan memimpin dirimu sendiri, bukan orang lain”
Nah, kembali kepada persoalan diri dan masa depan kita. Di Dana Mbojo, banyak generasi hari ini yang tidak sadar atas gejolak kompetisi yang ada. Saat ini ada Tiga kubu yang berseteru dalam memperebutkan pengaruh. Yaitu Kubu Hedonis, Kubu Feodalist dan Kubu Kreatif. Hampir sebagian besar generasi muda kita saat ini terseret dan terjebak dalam kubu HEDONIS. Sebab dalam kubu ini, berkumpul para Sosialita, Penikmat Entertaint, Konsumeristik, Pemuda-pemuda Individualistik, Oportunistik dan Pengagum Modernis Style.
Pada kubu FEODALIS cenderung menganggap tabu para kaum Hedonis, memaknai sesuatu yang baru dalam ‘kacamatan’ Tradisi sehingga muncul istilah Pamali dan Sugesti, cenderung tertutup, tidak inovatif dan lebih ‘mengisolasi’ diri dari tatanan luar. Sekolah dan kuliah hanya untuk memenuhi kelas Strata sosial, dianggap kerja bila ber-keki dan karakter sosial yang cenderung tradisional dan menolak modernisasi paradigma. Sedangkan Kubu yang kaumnya sangat sedikit adalah kubu KREATIF. Kubu ini selalu dianggap remeh oleh kubu Feodalist dan kerap dicemooh oleh kubu Hedonis. Menghindari terbuangnya waktu yang sia-sia, kerap membandingkan setiap langkah antara Manfaat dan mudhorat. Kubu ini lebih cenderung menghabiskan waktu untuk 5 hal, yaitu, Diskusi, Improvisasi Skill, mendorong Motivasi, membangun Inspirasi, dan selalu meningkatkan Kompetensi. Oleh karenanya, Kubu ini sering disebut sebagai manusia-manusia Pemikir yang kurang diminati.
Tetapi, pada tataran Kesiapan Mental dan Kemampuan manajemen Masa Depan, Kubu Kreatif jauh lebih sukses dalam membangun Interaksi, Komunikasi dan Orientasi. Sedangkan Kubu Feodalis lebih banyak menjadi Pengikut dan Pelatah yang serba kaku dan cenderung memposisikan diri sebagai Kuli pada tingkatan tertentu. Sedangkan Kubu Hedonis, sebagian besar menjadi manusia yang menghabiskan masa hidupnya sebagai Pengacau, Pembisik, Pembusuk dan Penutur yang basi.
Pada umumnya, Kubu manusia Hedonis lebih banyak menemukan masalah dan berkutat dengan berbagai persoalan saat mereka berumah tangga akibat tidak siap menghadapi kenyataan persaingan hidup yang sesungguhnya. Sedangkan Kaum Feodalis lebih banyak merendahkan diri, cenderung meng-amin-i nasib yang diterimanya sebagai Takdir hidup. Lebih merasa cukup tanpa memotivasi diri untuk lebih berkompetisi karena tidak terbiasa. Sedangkan Kubu Kreatif, lebih pro aktif, meski sederhana namun nampak elegan, tidak meng-angkuh-kan diri karena selalu merasa apa yang dilakukan belum maksimal. Cenderung lebih agresif dalam menyiapkan masa depan anak yang dilahirkan. Dan terampil serta lebih tenang dalam manajemen guna menghadapi kompetisi hidup yang serba kompleks.
Prespektif tersebut yang dijelaskan diatas masih bersifat universal dan merupakan sudut pandang saya secara subjektif dalam melihat dan membahasakan apa yang saya perhatikan dan analisah atas kondisi saat ini terhadap (Kemungkinan) kecederungan kelompok kehidupan masyarakat Dana Mbojo masa yang akan datang oleh para Generasi muda hari ini. tentu masih banyak varian dan Indikator penelitian lain yang lebih representatif dalam menggambarkan kondisi kekinian atas keadaan di masa yang akan datang.
Saatnya kita merenungi diri kita, mengevaluasi potensi yang kita miliki dan mengukur kemampuan bersaing kita menjelang diterapkannya gelombang Masyarakat Ekonomi ASIA (MEA) yang tinggal beberapa bulan lagi. Saatnya kita mulai meng-infetarisir Skill. Potensi dan Talenta yang kita miliki untuk diposisikan pada KUBU yang mana. Lalu bila ada yang perlu dilatih dan ditingkatkan, mari kita latih mulai dari sekarang agar kita tidak dianggap kelompok manusia yang Tiba masa tiba akal.
Seperti yang tertera pada judul diatas, “Ganteng dan kekar lebih menarik namun terampil dan kreatif lebih menjamin”. Ganteng atau Kekar bagi kita lelaki, tidak menjamin kebahagiaan dan ketenangan bersama pasangan kita dimasa mendatang, sebab banyak factor yang mesti kita benahi dari diri dan kemampuan kita untuk menggapai kehidupan yang harmonis itu sendiri. Dan tentunya, lelaki yang terampil dan kreatif lah yang akan menjadi rebutan para pencari pasangan hidup. Sebab, wanita lebih cenderung membandingkan kehidupan pada ‘pandangan’ nyaman atau tidaknya sebuah hubungan. Kenyamanan menurut beberapa pakar adalah ketenangan dan kebahagiaan yang tersuguhkan.

Kita boleh BERSENANG-SENANG dengan bermalas-malasan dimasa ini, namun dengan konsekwensi kita akan dituntut ‘BERDARAH-DARAH’ dalam mencapai kehidupan yang berkecukupan dimasa mendatang. Bukankah Hidup ini penuh dengan pilihan? Semakin baik keputusan yang kita pilih maka semakin baik pula kita dalam mengendalikan kehidupan itu sendiri…….. Wallahualam Bissawab….!!

Jumat, 31 Juli 2015

PENCERDAS GENERASI DOMPU

"Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan". – Franklin D Roosevelt.

Kalimat diatas adalah kalimat yang sangat memotivasi untuk penulis menuliskan apa yang penulis lihat dan rasakan. Kalimat yang menggetarkan ketergugahan para pemilik jiwa-jiwa yang tengah bangkit. Dari kalimat itu, penulis menginspirasi untuk menulis sosok inspiratif yang sedang merintis membangun dan mengembangkan lembaga Study English yang bernama We Save terletak di Jln Syeck Muhamad Kel Doro tangga Jado Dompu.

Agus Setiawan 27 (thn) lelaki sederhana rendah hati, kelahiran Rabalaju desa kandai satu yang mendirikan We save sembagai lembaga sosial dan pendidikan pada tgl 27 Oktober 2013 lalu. Tidak banyak yang mengenal beliau secara dekat, namun namanya disebut dimana-mana khususnya di Kabupaten yang mengusung semboyang “Nggahi Rawi Pahu”, Dompu. Bagi saya, Beliau adalah "Pecontoh Kebaikan yang nyata"

Agus Setiawan adalah Pendiri lembaga Study English. Baginya, We Save adalah ruang penerang masa depan generasi intelektual mudah Dompu dalam menyosong era kompetitif menuju persaingan global kehidupan.

Sejak tahun 2008 lalu, ketika penulis pernah ikut belajar kelompok di ruangan sederhana tidak berase, penuh kerisihan kendaraan berlalu-lalang melintasi jalur tempat beribadah dan belajar, Tidak pernah Fokus serta kehilangan konsep akibat keributan suara motor dan mobil diatas aspal para pengguna transportasi jalan, namun tidak pula membuatnya berputus asa untuk berhenti mengajar mencerdaskan generasi berbahasa internasional (English).

Waktu itupun, murit yang bejalar cukup sedikit hanya orang-orang yang mengenal beliaulah yang belajar. Perdana membuka tempat KURSUS tidak dinamakan apa-apa atau terikat dengan kepemerintahan, "hanya muncul ide kreatif dan membagi ilmu kepada sesama". Belajar pun secara GRATIS tidak punggut biaya juga tidak membedahkan orang miskin dan kaya siapa saja boleh belajar yang penting miliki niat ingin belajar pasti akan diajarkan.     

Waktu semakin berubah dan berputar, para murid semakin bertambah dan berminat untuk bisa berbahasa inggris, ada anak SD, SMP, SMU hingga Mahasiswa namun ruangan tersendak sempit dan terhempit, ia pun mengalih mengajarkan dirumahnya sendiri dengan fasilitas apa adanya hanya papan dan spidol hitam. Tidak ada yang istimewah darinya hanya Lelaki miskin yang memiliki cita-cita mulia.  

Tidak ingin senja berlalu begitu saja, Hampir setiap bulan tetap melakukan STUDY TOUR TO LAKEY BEACH, mengajarkan pelajar melakukan prektek Speaking Comunication dengan Mister And Misis atau orang asing yang datang berlibur dipantai tersebut. Beberapa pelajar yang pernah belajar banyak yang telah mendapatkan predikat penghargaan, mulai dari ikut lomba Debat, Creativitas berbicara hingga lolos mengikuti seleksi Pertukaran Pemuda antar Negara (PPAN) yang di adakan setiap tahun oleh dinas Pemuda dan olah raga (Dikpora) propinsi NTB.

Namun selain dari Aktivitas STUDY TOUR itu, mereka juga melakukan kegiatan ''Sunday Cleaning Day'' Mengenal jijih dan kotor untuk memungut sampah-sampah non-organik di sepanjang jalan kota, bangun pagi bergegas kerja untuk mencari sampah, dan mengumpulkan sampah-sampah berbotol kaleng sisah minuman untuk di jual. hasil penjualanpun bukan untuk kepribadian perkelompok, siapa yang lebih membutuhkan mereka akan bagikan, terutama membagikan terhadap anak yatim-piatum dan fakir miskin untuk meringankan kebutuhan pokok setiap hari. Tidak punya uang lebih untuk di bagikan hanya sampah kami bisa bersedekah. 

Hampir seluruh kecematan kelurahan kab Dompu, Beliau pernah mengajar anak-anak untuk belajar bahasa inggris secara gratis, dari banyaknya murit yang telah ia ajarkan hampir semuanya bertumbuh besar dan bercerdas. Hingga membangun tiap-tiap titik kecematan dan lurah. sehingga di bagikan untuk pergi mengajar. Tidak perlu mengasih uang untuk beli Spitol atau untuk Mengisi bensin, namun cukup Welcome dan menerima dengan lubuk hati untuk kami cerdaskan anak-anak daerah. (Ungkapnya)

Nama Agus Setiawan adalah sosok inspiratif untuk dicontohkan. Sosok  yang benar-benar berslogan “Nggahi, Rawi, Pahu” ini bukanlah sosok “Nggahi Wari Pahu” seperti kebanyakan yang kita jumpai. Bagi beliau, tak kenal boleh saja asal tahu bagaimana berkontribusi untuk membangun daerah. Bagi Penulis, Teacher Agus adalah Sosok yang hidup untuk orang banyak. Sosok yang kerap tidak dianggap namun keberadaannya mengilhami banyak umat.

Guru yang biasa-biasa saja memberi tahu. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang bagus menunjukan bagaimana caranya. Tetapi guru yang luar biasa menginspirasih murit-muritnya.











Senin, 30 Maret 2015

Tangisan Dalam Duka


Oleh : Andi Hermawan




Siang menjelang sore duduk merenung mengigat cinta yang gelap, massa pancaroma remaja kini telah hilang meninggalkan cerita yang cukup istimewah untuk dituliskan. Hati yang hitam menjadi putih atas kehadiranmu. Namun kini telah pergi meninggalkan makna dalam pesan.
Dulu massa remaja itu adalah masa cinta yang keren dan lucu, massa cinta bagi pemula belajar memberih kasih, masa cinta belajar tangis dalam pedih, dan massa yang memaksa untuk di kenang sepanjang waktu.

Kehadiran “Putri Dewi” tidak butuh waktu lama untuk merubah segala perjalanan hidup yang elok dan enggan untuk memikirkaan nasib malang, dalam waktu pendek langkah kehidupan semuanya membawa arti dalam kebersamaan dulu. Tapi kini semuanya telah berhenti dan masing-masing memilih jalan yang menurut kita terbaik untuk kehidupan massa depan.

Waktu perjalanan hidup akan merubah dari asing menjadi manis, kisah cintapun tak selamanya indah dan kekal abadi, Sebab tuhan telah menyimpan jodoh yang terbaik untuk di cintai sepanjang waktu. Setelah lama aku dan kau berakhir memberi kasih cinta yang dulu saling mengisi, menyanyangi, menghormati, Namun hati ini tetap mengenang cinta terbaik yang pernah kau berikan.

Persaingan hati dan perasaan menuju pembuktian suka itu adalah hak semua orang dan tiap-tiap orang memiliki kehangatan hati untuk di satukan, dan Objeck sasaranpun memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya. Dan terbukti waktu yang sama jawaban hati ini memilih kau yang pantas untuk di isi dalam cinta.

Berakhir dalam Massa Putih Abu-Abu (SMA), Kitapun berakhir memberi cinta antara jarak dan engkau bosan melihat ulah ayahmu yang kerap memainkan cinta dari seorang ibu. Kaupun memutuskan untuk pergi meninggalkan Ayahmu sendiri tanpa seorang anak putri yang dulu pernah di Idamkan. Kau pergi meninggalkannya, lalu kau kembali ke pangkuan ibumu yang selalu mendidik memberi nasehat yang baik untuk langkahmu. Walaupun ibumu tinggal di desa kecil yang tak terjangkau dari sinyal handpone tapi kau mampu melewati jalur rusak sampai ke rumah.

Tidak membutuhkan waktu lama kau hadir dalam desa terpencil dengan beragam cewek yang berkulit hitam dan hanya kau yang tercantik dalam pandangan mata seorang adam. Kau pantas untuk di lirik setiap saat hingga mata terlelap rindu dalam gelapnya malam terbayang hingga ke-mimpi yang berarti untuk mereka.     

Cinta yang dijodohkan oleh orang tua membawah arti sepanjang hidup, 90 hari bercinta untuk melakukan pendekatan secara emosional dapat di jalankan dengan kesunguhan hati sehingga dapat ternilai mengetahui jiwa karakter kepribadian masing-masing hingga satu cinta dalam bungkusan Pernikahan.  

Hidup dalam satu pasangan muslim, Do’a teman-teman kepada tuhan ingin melihat seorang dewi bahagia dalam menjalanin hubungan cinta dengan baik hingga ke cucu-nenek. Selama satu tahun lebih hidup bersama pasangan pernikahan akhirnya melahirkan seorang anak perempuan yang bernama “Echa”, Kehadiran anak mejadi pelengkap dalam kehidupan berumah tangga. Cinta seorang ibu kepada anaknya sangat besar tak bisa di beliin dengan apa-apa apalagi dikalahkan dengan berapa harga. Cinta seorang ibu kepada Echa yg berumur 118 hari sangat tulus dan berharap tumbuh besar dalam kesederhanaanya, berharap pula bisa menjadi kebanggaan dari orang tua untuk kehidupan masa depannya nanti, berharap akan menjadi anak yang selalu setia dengan orang tuannya, setia dengan kakek-neneknya, setia bersama keluarga besarnya tentunya berharap memiliki teman baik dalam kehidupannya ini, hadir membahagiakan dan bersenang-senang dengan melihat alam ciptaan tuhan, ada gunung yang harus kau sapa dengan senyuman manismu nak, kepuncak melihat pemandangan-pemandangan indah yang harus kau lihat dalam ciptaan tuhan ini nak, begitu juga pantai nak engkau sebenarnya ada mewarnai dalam perjalan hidup kami nak, berenang bersama melihat perumbungan karang di dasar air laut, melihat warna warni pelangit, bulan dan bintang yang menyerangi malam gelap. Tetapi kenapa kamu pergi cepat meninggal kami ??     
Kau memang kami damba, kami nanti dengan sengenap jiwa
Anakku sayang..
Kau harapan kami tuk masa depan
Kau bisa membuat sedih jadi bahagia
Anakku sayang..
Kau kekuatan cinta yang tak ada tandingannya
Kala kau bahagia kami sangat bahagia
Kala kau sedih hati ini ikut bersedih bahkan lebih sedih dari yang kau rasa
Dikala kau sakit semua tubuh ini juga terasa sakit
Segenap jiwa kami berikan tukmu anankku
Sepenuh hati kami berjuang untukmu
Harapan kami padamu jadilah anak yang solehah
Anak yang berbakti pada semua
Anakku sayang do’a kami selalu untukmu
Selalu dan selalu …
Selamat jalan anakku, bahagialah dalam surgamu.

            (Ungkapan Seorang Ibu)

Cobaan hidup terus ada dalam kehidupan ini, hadapilah semuanya dengan senyuman indah agar tangis terasa tawa, sakit pula terasa bahagia, semua takdir kita serahkan kepada tuhan. Tuhan yang menciptakan dan akan kembali kepadannya.    

Hidup seorang ibu dan bapak atas kepergian anak tak membuat cintanya harus pergi dan berakhir, cinta mereka tetap untuh hingga adzal menjemputnya.
Selang beberapa bulan dari masalah yang dihadapinya lagi-lagi cobaan terus menimpah kehidupannya, tangisan air mata membasahi bumi atas kepergian suaminya dari kecelakaan motor itu membuat tubuhnya lemah tak bergerak hingga jatuh pingsang. Dilemah hidupmu dengan cobaan yang kerap menimpahnya, cobaan yang harus kau hadapin dengan cerdas untuk keluar menyelesaikan semua cobaan ini dan bertahan untuk hidup.

Tetap semangat dalam mengarungi hidup ini, mugkin tuhan memilih rencana lain untuk kehidupan masa depanmu yang lebih baik. Saya tidak pula naïf dan berhenti untuk mengingatin mereka yang pernah singga di kehidupan ini. Tapi kini Dewi harus menjadi putri yang tegar, putri yang selalu memiliki jiwa besar, putri yang selalu memiliki harapan nyata untuk keluarga besarmu, putri yang selalu memberi kebahagiaan bagi mereka yang dulu pergi meninggalkan kamu..

Perpisahan tercipta karena akan ada sebuah pertemuan selanjutnya yang akan lebih indah, Impian harus terus dikejar meski harus bersusah payah. Kamu tak akan mendapatkan apapun jika kamu terus berdiam diri Dan Ihklaskanlah untuk kepergian mereka, semoga mereka tetap dalam lindungan allah SWT dan mempertemukan seorang anak dan bapak di akhirat sana. Aamiin.

       


     

Minggu, 22 Maret 2015

DANA MBOJO BIMA



Sejarah dan Usul Daerah Dana MBOJO (Bima)
Suatu daerah pasti mempunyai asal usul tersendiri, budaya, dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah Bima yang dulu pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima.
Description: museum-mbojo
museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima
Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan.
Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
Tulisan di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.
Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan.

2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :

  • Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
  • Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
  • Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
  • Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
  • Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata Babuju.


3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.
4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :
  • La Ka’I menjadi Abdul kahir
  • La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
  • Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
  • Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Referensi Buku Sejarah Mbojo Bima (M. Hilir Ismail)

Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima

A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan Berkembangnya islam di Kerajaan Bima
       Kerajaan Gowa Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima. Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada tahun 1609 M . Seiring dengan masuknya islam maka peradaban tulis juga berkembang.
       Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.
       Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi  semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu  desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang  yang selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
       Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir  berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga ke  Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara)   pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).
       Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh sejarah itu  kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima.   (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Funitur.
Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna.
Description: rimpuuu
Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
Description: rimpu
Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”, ujarnya.
Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,” contohnya.
Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. “Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita,” paparnya.
Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang.
Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya, generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada, mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan.
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.
Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima.
Sumber:

KERAJAAN DOMPO



Ekspedisi Majapahit

situs Warukali keadaannya sangat memprihatinkan karena sejumlah bata yang terdapat di situs ini juga banyak yang dimanfaatkan masyarakat untuk pembangunan rumah-rumah penduduk. Bahkan pernah terjadi penggalian liar di lokasi ini, karena menurut masyarakat setempat kawasan tersebut dicurigai menyimpan harta karun. Akibat penggalian liar ini adalah rusaknya sejumlah bata material bangunan kuno tersebut. Temuan bata berukuran besar ini tersebar dalam radius lebih luas di wilayah ini di antaranya di Doro Empana, Doro Ngao dan bahkan di wilayah Sambitangga, temuan bata ini digali habis untuk material pembangunan rumah.

Di lokasi ini juga ditemukan sejumlah keramik yang masih utuh semacam piring dan mangkok Cina yang diperkirakan berasal dari Dinasti Yuan (abad 14 - 15 M). Sehingga secara makro, hubungan antara kawasan sekitarnya ini merupakan kesatuan wilayah dan budaya pada masa lalu, dilihat dari penemuan sejumlah benda arkeologi seperti keramik. Temuan data ini juga didapat di areal kuburan bersebelahan situs Warukali. Menurut informasi masyarakat setempat, bata kuno tersebut ditemukan cukup banyak di areal kuburan, sehingga pada waktu penggalian liang kubur, bata-bata ini diangkat dari dalam galian sedalam 1 m dari permukaan tanah. Nama Warukali yang dikenal sekarang pada mulanya merupakan gelar penobatan seorang tokoh agama Islam -- gelar tersebut mengandung simbol delapan sifat kepemimpinan yang harus ditaati seorang tokoh atau pemimpin.

Adanya dugaan penobatan tokoh di wilayah ini kemungkinan karena secara historis wilayah tersebut dipandang penting sejak zaman Hindu, sehingga dalam perkembangan belakangan pada masa masuknya pengaruh Islam kawasan ini juga diberikan kehormatan sebagai tempat penobatan tokoh penyebar agama Islam.
Nama Warukali secara monumental tetap dikenal sampai sekarang. Berdasarkan bukti-bukti sejarah Walwaktikta, kebesaran Majapahit memang sampai menguasai wilayah ini. Seperti disebutkan dalam kitab Negara Kertagama, bahwa dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1389), seluruh negeri di Pulau Sumbawa yaitu pulau Taliwang, Dompu, Sapi, Sanghiang Api, Bima, Seran, dan Utan Kadali menjadi daerah Kerajaan Majapahit.
Dalam cerita mengenai kerajaan Dompu pada zaman pemerintahan Mawaa Taho, yaitu tahun 1357, ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Laksamana Nala dan dibantu oleh laskar dari Bali yang dipimpin oleh Pasung Gerigis berhasil menaklukan Dompu dan daerah sekitarnya. Sejak saat itulah Dompu bernaung di bawah kekuasaan Majapahit. Tercatatnya Kerajaan Dompu sebagai salah satu target penguasaan Majapahit karena dipandang Kerajaan Dompu strategis pada saat itu. Kerajaan Dompu sudah dikenal petinggi Majapahit sejak pemerintahan Tribuwana (1328 - 1350).

Dalam sejarah Dompu disebutkan, kelahiran Dompu sebagai cikal bakal kerajaan telah dimulai sejak abad ke-7 yaitu pada zaman Sriwijaya. Sebab, dalam cerita rakyat yang berkembang di Dompu disebut-sebut bahwa Sang Kula (cikal bakal Raja Dompu) yang juga dikenal dengan sebutan Ncuhi Patikula mempunyai seorang putri yang ia kawinkan dengan putra Raja dari Tulang Bawang dan atas kesepakatan para Ncuhi ia dinobatkan sebagai raja Dompu yang berkedudukan di Negeri Tonda -- sekitar 10 km arah selatan Dompu. Sampai kini, jejak budaya Majapahit masih tersebar di kawasan ini.

Bentuk Bangunan
Di situs Warukali dekat Doro Bata ditemukan sejumlah rerutuhan dan susunan struktur yang tidak beraturan. Secara morfologi, bentuk bangunan diperkirakan berteras dengan konstruksi kayu pada bangunan atas. Pertimbangan ini didasari adanya perbedaan ketinggian temuan struktur atas dan bawah dengan selisih ketinggian 160 cm. Bangunan berteras semacam ini masih mentradisi di Bali yang lebih dikenal dengan bangunan gunung rata.
Memperhatikan material yang dipergunakan yaitu bata pecah dan batu kali, sepertinya merupakan material sisa dari pembuatan bangunan suci. Ini merupakan indikasi, kemungkinan bangunan tersebut merupakan bangunan profan, yang menurut kepercayaan bahwa material bangunan profan tidak boleh sama atau lebih baik dari bangunan suci. Memperhatikan lokasinya yang memilih tempat yang tinggi terkait dengan fungsi bangunan itu, secara hirarki merupakan permukaan tokoh keagamaan atau bangsawan (Ncuhi) pada masa itu. Indikasi ini diperkuat pula dengan temuan aktivitas keseharian yang terbuat dari keramik yang mempunyai nilai tinggi pada masa itu.
Sedangkan bangunan suci keagamaannya berada di Doro Bata yang letaknya di pusat kawasan dari keempat wilayah Doro Empana, Doro Ngao, Sambitangga, dan Doro Swete. Keberadaan keempat wilayah tersebut mengitari Doro Bata, dari empat arah penjuru mata angin yang terminologinya di Bali dikenal dengan konsep "nyatur desa". Dugaan ini diperkuat oleh pendapat yang menyebutkan situs hunian pada umumnya berada tidak jauh dari kawasan bangunan suci.

2. Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan)
Tanjungpura pernah menjadi bawahan Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk, seperti tertulis dalam naskah Negarakertagama dan prasasti di Waringin Pitu berangka tahun 1447.
“Politik ekspansi Majapahit dilakukan tidak hanya dengan kekuatan senjata tapi juga melalui perkawinan dengan anak raja setempat. Untuk Kerajaan Tanjungpura, Putri Junjung Buih (Dayang Potong) kawin dengan anak Raja Majapahit, Prabu Jaya. Melalui cara ini, Tanjungpra dapat ditaklukkan dan dijadikan ibukota negara bagian wilayah Tanjung Negara (sebutan Majapahit untuk Pulau Kalimantan waktu itu) pada tahun 1447 M..
Perkawinan anak Raja Majapahit dengan Putri Junjung Buih, Putri Yaparong memperoleh tiga anak,
1. Pangeran Prabu bergelar Raja Baparung mendirikan kerajaan Tanjungpura
2. Gusti Likar mendirikan Kerajaan Meliau
3. Pangeran Mancar mendirikan Kerajaan Tayan.
Setelah Raja Baparung wafat tahun 1481, anaknya Karang Tunjung naik takhta bergelar Panembahan Pudong Berasap. Pada tahun 1500, pemerintahan digantikan anaknya Panembahan Kalahirang. “Kemudian sekitar tahun 1501 kota Kerajaan Tanjungpura dipindahkan dari Benoa Lama (Desa Negeri Baru, Kelurahan Mulia Kerta) ke Kota Sukadana sebagai akibat perubahan sistem pemerintahan dan politik ekspansi kerajaan yang dipimpin Panembahan Kalahirang. Pada masa pemerintahannya hubungan perdagangan dengan kerajaan luar seperti Melaka, Majapahit, dan Tiongkok terjalin erat,” tulis Kamboja. Kemudian kesaksian kunjungan Laksamana Hang Tuah dari Kesultanan Melaka (Malaysia) sekitar tahun 1478 ke ibukota Majapahit, sudah tidak menemukan kemasyhuran bahkan memberikan kritik. Hang Tuah sendiri diminta Majapahit melawan Kesultanan Demak dan disanggupinya. Pertumpahan darah dengan salah seorang kerabat Kesultanan Demak memperoleh azimat pusaka keris Tameng Sari (Perisai Jiwa ).