Suatu daerah pasti mempunyai asal usul tersendiri,
budaya, dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah Bima yang dulu
pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad
sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui
secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan
tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak
terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan
sejarah Bima.
museum mbojo sebagai salah satu bukti adanya kerjaan di Bima
|
Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan
segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang
barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari
masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang
ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan
bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi
Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan
secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut,
tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah
dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak
mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah
dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa
tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah
digunakan.
Dua
prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa
Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan
bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan
dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
Tulisan
di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry
Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.
Bima
di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto
Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat
belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan,
pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada
disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari
dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar
berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari
hasil kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari
suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama
atau kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba
dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan
Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya
diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut
merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar.
Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba
Makakimbi di tempat bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang
mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra
atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan
berupa sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang
pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga
merupakan pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati,
sehingga masyarakat pada masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat
menghormati arwah leluhur terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat
menjunjung tinggi asas Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong
Royong). Segala sesuatu selalu dimusyawarahkan.
2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman
Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan
dengan para pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para pedagang
dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada
saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai
tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan
Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti
diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai
Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman
Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan
hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama.
Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan
Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama
rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap
berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu”
rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh
falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir
dari daerah luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh
pelosok nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin
bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan perkampungan di
pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang. Sampai
sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan
sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh
masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan
musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang
Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan
masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan
damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan
falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro
Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :
- Masyarakat
dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
- Ncuhi
Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan
Belo, Woha dan Monta sekarang.
- Ncuhi
Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan
Wera sekarang.
- Ncuhi
Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo
dan Donggo sekarang.
- Ncuhi
Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan
Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju.
Sesuai dengan nama tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata
Babuju.
3. Jaman
Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda
dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali
berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas.
Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari
Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra
yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut
kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu
dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat
(Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau
Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah
pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang
Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra
Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan
anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa
untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil
kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja
di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama
di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan.
Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu
jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi
dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki
dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima,
setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra
Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo,
Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut
yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli
(Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa
sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu
bernama Bilmana.
4. Zaman
Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan
mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra
sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara
dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin
membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga
Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan
kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi
dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai
berikut :
1. Tahap
pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan
Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk
menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah
sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang
berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya
Sultan Trenggono.
2. Tahap
kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk
menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah
adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate,
tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik,
setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap
ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin
awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk
menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di
Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang
dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I
yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I
beserta pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :
- La
Ka’I menjadi Abdul kahir
- La
Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
- Bumi
Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
- Manuru
Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut
berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Referensi Buku Sejarah Mbojo Bima (M. Hilir Ismail)
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima
A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi
dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai
mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke
kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi
Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk
kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di
Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud
dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi
Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi
sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo.
Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji
atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam
bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi
Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana
Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo
Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan
lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana
Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi
bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam
musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama
Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian
kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya
nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima
dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan
pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta
bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku
Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu,
mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat
istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung
Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di
wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o
Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada
di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan Berkembangnya islam di Kerajaan Bima
Kerajaan Gowa Tallo
memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada
abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan bagian
barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi
untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima.
Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada
tahun 1609 M . Seiring dengan masuknya islam maka peradaban tulis juga
berkembang.
Beberapa bulan setelah
memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh
beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu.
Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat
ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi
pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE
kecamatan Sape.
Dari puncak Kalodu, Islam
semakin bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat
menyambut gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam.
Salisi semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan
menyerang Pasukan Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape
hingga mencapai puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan
hingga menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu desa Bala
kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir
dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang yang
selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
Di Makassar, Empat
serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih
taktik perang. Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga
setelah segala persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi
penyerangan terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini
dikirim untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang
tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M,
ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir
berhasil memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama
yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu).
Sedangkan Sirajuddin terus mengejar Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin
selanjutnya mendirikan Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi
Perdana Menteri (Ruma Bicara) pertama dan diberi gelar Manuru
Suntu, dimakamkan di kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).
Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi
saksi sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus
berkiprah dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah
pada setiap tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah
menjadi takdir sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya
yang bernama Abdul Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera
Kahir). Dua tokoh sejarah itu kini tidur dengan tenang untuk
selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota Bima. (Sumber : Kitab
BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir
Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih
Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja
terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia.
Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada
pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa
di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Funitur.
Bima
merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur.
Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan
hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya
terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih
kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang
hingga kini nyaris kehilangan makna.
Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa
kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer
sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan
dengan 5 Juli 1640.
Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke
Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima
terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk
mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga
tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain
sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi
perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa
itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain
tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina.
Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu
apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu
urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat
itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang yang melanggar dengan
sendirinya akan merasa malu”, ujarnya.
Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari
Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari
identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu,
wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa
mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya
sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show
(pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,”
contohnya.
Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu
tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa
itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik
sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya.
“Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan
segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib)
terhadap wanita,” paparnya.
Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang
bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup
kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu
bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu
mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata
yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita
muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka
kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita
yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka.
Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup
dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian
mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang.
Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan
yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama
kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang
masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik.
Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah
tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis
incarannya dari sarung yang dikenakannya.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan.
Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama
Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya,
generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada,
mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang
yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan.
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di
daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo,
Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.
Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan
sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah
Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan
pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut
dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor
industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima.
Sumber: